Breaking News
- Dorong Kreativitas Mahasiswa, Formadiksi Unimal Adakan Workshop Terpadu
- Makan Siang Bersama Teman di Richeese Kota Lhokseumawe
- Jameun Kupie, Cafe Nostalgia di Bireuen Yang Menghidupkan Kembali Masa Lalu Aceh
- Mariz.co Kafe Bergaya Retro yang Jadi Tempat Nongkrong Favorit Anak Muda Lhokseumawe
- Ribuan Warga Padati Masjid Islamic Center Lhokseumawe untuk Salat Idul Adha 1446 H
- IMAPASBAR Lhokseumawe, Wadah Mahasiswa Pasaman Barat yang Terus Berkembang
- Penyanyi Legendaris Hamdan ATT Tutup Usia
- Arkan Muyasir, Anak Daerah yang Tembus Teknik Sipil UGM
- Pantai Ujung Bate, Tempat Favorit Warga Lhokseumawe
- Insiden Kebakaran kompleks BTN
Jameun Kupie, Cafe Nostalgia di Bireuen Yang Menghidupkan Kembali Masa Lalu Aceh
Penulis : Hayatul Amna | Editor : Reza Adami
.png)
Keterangan Gambar : Suasana warung Jameun Kupie di Cot Bada Baroh, Bireuen, yang menyajikan nuansa tempo dulu, Minggu (29/06/2025).
BIREUEN, 29 JUNI 2025 - Di tengah gempuran kafe-kafe modern yang berjejer di berbagai sudut kota, sebuah warung sederhana di Kabupaten Bireuen.
Justru tampil berbeda dan menarik perhatian, namanya Jameun Kupie, Terletak di Cot Bada Baroh, Kecamatan Peusangan, Aceh.
Warung ini menyajikan suasana masa lalu yang kini mulai langka ditemukan.
Jameun Kupie pertama kali dibuka pada tahun 2020 oleh seorang pemuda bernama Khairul Nazli. Ia bukan barista lulusan luar negeri atau pengusaha besar, tapi seseorang yang punya kerinduan mendalam terhadap suasana kampung halaman di masa kecilnya.
Dari kerinduan itulah muncul gagasan untuk membangun tempat ngopi yang tidak sekadar menjual kopi, tapi juga menawarkan suasana dan kenangan.
Begitu seseorang masuk ke Jameun Kupie, kesan “tempo dulu” langsung terasa.
Bangunan warung terbuat dari bahan-bahan tradisional seperti daun rumbia, kayu tua, dan bambu.
Meja dan kursinya pun sederhana, menyerupai tempat duduk di rumah nenek dulu.
Di dinding, tergantung foto-foto tokoh Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, Lampu minyak menggantung di beberapa sudut, radio tua masih menyala dengan lagu-lagu Aceh lawas, dan aroma kopi hitam menyambut dari dapur kecil di belakang.
Namun yang paling membuat orang betah tentu saja menunya, kopi khop menjadi salah satu andalan, yaitu kopi hitam yang disajikan dengan gelas terbalik, diminum melalui celah antara piring dan bibir gelas.
Selain itu ada juga kopi tebu campuran air tebu dan kopi asli tanpa tambahan pemanis buatan.
Tak ketinggalan, limun jadul dalam botol kaca dan bandrek khas Aceh ikut menambah ragam pilihan minuman di sana.
Untuk makanan, Jameun Kupie menyuguhkan aneka camilan kampung seperti timphan, deughok, pisang teukeurabe dengan taburan kelapa parut, emping kelapa, hingga mie Aceh.
Harganya pun sangat terjangkau, mulai dari Rp10.000 sampai Rp30.000, semua bisa dinikmati sambil duduk santai dan mengobrol di bawah cahaya remang-remang.
Setiap sore hingga malam, warung ini ramai oleh pengunjung dari berbagai kalangan.
Tak hanya orang tua yang ingin bernostalgia, tapi juga anak-anak muda yang penasaran merasakan suasana yang tak mereka temukan di kafe modern.
Banyak yang datang untuk sekadar menikmati kopi, berfoto, atau bahkan menulis di buku tamu yang disediakan.
Salah satu pengunjung setia, gina, mengaku hampir setiap akhir pekan datang ke tempat ini. Menurutnya, Jameun Kupie lebih dari sekadar tempat ngopi.
“Saya suka tempat ini karena suasananya beda, Rasanya kayak pulang ke rumah nenek, Kopinya juga enak, tapi yang paling saya suka itu suasananya yang adem dan tenang,” ungkapnya.
Gina juga menyebut, warung ini sering jadi tempat diskusi santai antar teman kampus atau sekadar ruang lepas penat setelah seminggu bekerja.
Meski tampil sederhana, warung ini ternyata mampu menghasilkan omzet yang cukup besar.
Dalam sebulan, Jameun Kupie bisa mendatangkan puluhan juta rupiah.
Namun bagi Khairul Nazli, uang bukanlah tujuan utama. Ia ingin tempat ini menjadi pengingat bahwa kampung, budaya, dan suasana dulu masih bisa dirawat, dinikmati, bahkan dijadikan sumber kebahagiaan bersama.
“Jameun Kupie bukan hanya tempat minum kopi, Ini tempat orang kembali ke masa kecilnya, mengenang orang tua, atau sekadar duduk tanpa terburu-buru, Kita mungkin hidup di zaman modern, tapi bukan berarti harus meninggalkan semua yang lama,” ujar Khairul dengan senyum kecil.
Kini, Jameun Kupie bukan hanya dikenal di Bireuen, tapi juga mulai ramai diperbincangkan di media sosial dan media lokal.
Ia menjadi bukti bahwa sesuatu yang sederhana dan jujur dari hati bisa menyentuh banyak orang.
Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, Jameun Kupie hadir sebagai pengingat bahwa sesekali, manusia butuh diam, menyeruput kopi, dan membiarkan kenangan bicara.

Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments