- Jajanan Ringan untuk Menunda Rasa Lapar Mahasiswa Unimal
- Senja Romantis di Waduk Lhokseumawe, Tempat Favorit Warga Melepas Penat
- BEM FISIP Universitas Malikussaleh Hidupkan Bukit Indah Lewat FISIP Fest
- Ikatan Mahasiswa Tapanuli Sibolga Gelar Syukuran di Pelabuhan Krukueh, Lhokseumawe
- UKM PTQ Unimal Selenggarakan Pelatihan Tartil Al-Quran Secara Rutin
- Antusias Warga Lhokseumawe Joging Sore di Waduk!
- Stand Omiyo Paling favorit di Bazar FISIP Unimal, Es Pisang Ijo dan Crepes Jadi Incaran mahasiswa!
- Stand Bucin Kuy Curi Perhatian di FISIP Fest Unimal, Jajanan Pedasnya Bikin Ketagihan!
- Himalabusel Sukses Gelar Musyawarah Besar dan Pemilihan Ketua Umum
- Aneka Gorengan Mini Laris Diserbu Pengunjung Dalam Acara Kuliner
Presiden Prabowo Subianto Tetapkan Empat Pulau Masuk Wilayah Aceh, Generasi Muda Rayakan Lewat Gaya
Penulis : Hayatul Amna | Editor : Reza Adami

Keterangan Gambar : “Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pidato penetapan empat pulau ke dalam wilayah administrasi Aceh, 17 Juni 2025.”
JAKARTA, 17 Juni 2025–Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—sebagai bagian dari Aceh. Keputusan ini tidak hanya menyudahi sengketa administratif, tetapi juga menjadi pemantik semangat baru di kalangan generasi muda Aceh untuk merayakan jati diri mereka lewat gaya hidup dan ekspresi budaya.
Kabar itu disambut dengan gegap gempita di Banda Aceh dan Aceh Singkil, terutama oleh komunitas-komunitas kreatif yang selama ini menjadikan isu sejarah dan identitas sebagai bagian penting dalam karya mereka. Mulai dari mural bertema “Empat Pulau Harga Diri”, parade seni jalanan, hingga pertunjukan musik dan tarian etnik modern yang menggabungkan unsur lokal dan global—semuanya menjadi bentuk selebrasi kultural yang tumbuh dari bawah.
“Ini bukan cuma soal pulau, ini tentang bagaimana kami, anak muda Aceh, belajar mencintai dan menghidupkan kembali akar kami,” ujar Nurazila (22), pegiat seni visual dari Lhokseumawe. Karyanya berupa ilustrasi digital Pulau Panjang yang dikombinasikan dengan puisi rakyat, kini viral di media sosial dan menjadi simbol bagaimana generasi muda merespons politik dengan bahasa kreatif.
Baca Lainnya :
- Mesin Fair 2025 di Unimal : Ajang unjuk karya mahasiswa teknik mesin0
- Tragis, Nelayan di Lhokseumawe Jadi Korban Pembacokan0
- Muhammad Fatli Arabi, Pemuda Lhokseumawe yang Tak Pernah Lepas dari Meja Billiard0
- Musisi Gustin Irawan Wibowo Meninggal Dunia0
- Alyssa Daguise Jalani Pengajian Jelang Hari Bahagia.0
Bagi banyak pemuda, keputusan ini menjadi titik balik untuk memperkuat identitas Aceh melalui gaya hidup yang lebih sadar akan budaya. Komunitas kopi lokal di Meulaboh mengadakan “Ngopi Sadar Sejarah”, sementara di Sabang digelar kelas terbuka tentang peta kolonial dan sejarah maritim Aceh. Fashion lokal pun tak ketinggalan. Motif-motif dari wilayah pesisir mulai banyak digunakan dalam busana ready-to-wear karya desainer muda.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyebut semangat anak muda ini sebagai “bentuk cinta yang nyata.” Menurutnya, gaya hidup sadar identitas dan kesadaran sejarah adalah warisan tak tertulis yang tak kalah penting dibanding garis batas di peta.
Sementara itu, pengamat budaya dari Universitas Malikussaleh, Dr. Fitriani Hasan, menilai bahwa peristiwa ini membuka ruang baru bagi generasi muda untuk mengekspresikan nasionalisme dengan cara yang lebih lentur, kreatif, dan relevan. “Dulu nasionalisme hanya dilihat dari seragam atau bendera. Sekarang, ia juga hadir dalam podcast, ilustrasi digital, bahkan desain batik Aceh modern,” ujarnya.
Presiden Prabowo dalam pidatonya menyebut keputusan ini sebagai upaya menjaga integritas sejarah dan keadilan sosial. Namun dampaknya justru lebih luas—keputusan ini membangkitkan semangat budaya yang selama ini mungkin terabaikan. Generasi muda kini menjadikan pulau-pulau itu bukan hanya sebagai titik koordinat geografis, tapi sebagai simbol yang hidup dalam karya, ekspresi, dan gaya hidup sehari-hari.
Dengan semangat yang tumbuh dari masyarakat, khususnya kaum muda, narasi soal batas wilayah telah bergeser dari sekadar sengketa menjadi ruang afirmasi identitas. Empat pulau itu kini bukan sekadar milik Aceh secara administratif—mereka telah menjelma menjadi bagian dari kesadaran kolektif dan cara hidup generasi baru.
